MAHASISWA YANG LUPA AKAN KEKUASAAN

Asal kata mahasiwa berasal dari dua kata yaitu “maha” yang berarti lebih, paling dan “siswa” yang berarti pelajar. Dua asal kata yang dipadukan menjadi satu membentuk kata “mahasiswa”. Berarti seorang pelajar yaang paling tinggi kedudukannya dibanding tingkat pelajar yang lain. Kata mahasiswa yang diperkenalkan oleh Bung Karno dalam salah satu pidatonya. Mahasiswa adalah orang yang terdaftar sebagai pelajar di sebuah universitas atau bisa dibilang pelajar yang terdaftar di Perguruan Tinggi baik kampus dia itu berbasis Islam (UIN) atau bukan (UI, UGM, UNDIP) Mahasiswa yang dikenakan kewajibannya untuk belajar di kampusnya juga di bebankan sebagai orang yang menjadi kontrol di masyrakat. Kita bisa melihat kasus yang baru saja hangat yakni, menolak pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Cipta Kerja. Tentunya sebelum mengadakan aksi para mahasiswa melakukan konsolidasi terlebih dahulu mengenai hal yang ingin diangkat nanti kala demo nanti. Ketika aksi yang dilakukan tepatnya tanggal (6/4/2023) bukan hanya dari elemen mahasiswa saja yang menyelenggarakan unjuk rasa tersebut. Melakukan aksi merupakan suatu bentuk kepedulian dari elemen mahasiswa yang memperhatikan betul kebijakan-kebijakan pemerintah apa yang sudah dibuat dan apakah kebijakan itu baik bagi masyarakat atau malah menyengsarakan masyarakat. Bayangkan saja jika tidak ada seorangpun yang mempedulikan suatu kebijakan pemerintah dan dia itu menerima sepenuhnya tanpa mengkritisi dan bersikap skeptis atas kebijakan pemerintah yang dibuat. Melakukan aksi dengan rasa peduli dan sudah melakukan kewajiban bagi elemen mahasiswa itu sendiri. Diantara fokus aksi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) berkata “Fokus aksinya masih tentang menolak Perppu Cipta Kerja yang menciderai konstitusi, konsep negara hukum, dan demokrasi” Memang seluruh mahasiswa yang mengadakan aksi turun ke jalan menyuarakan hak dan sekaligus mewakili suara rakya itu tujuan nya hanya satu yakni, ingin menyampaikan keresahannya akan sesuatu yang itu dia anggap keliru dan harus diluruskan. Entah di luar konteks jika ada hal lain di luar itu semua. Yang menjadi persoalan yakni, sistematika aksi yang pertama jikalau ada elemen entah itu dari kalangan mahasiswa atau buruh yang mau unjuk rasa di wajibkan harus mengirimkan surat pemberitahuan kepada aparat kepolisian. Ketika surat itu sudah sampai ke tangan aparat kepolisian pasti dan tidak mungkin surat itu akan disampaikan lagi kepada atasannya aparat kepolisian. Bagaimana tujuan aksi bisa disampaikan secara keseluruhan jikalau objek dari aksi (DPRD) saja tidak ada di dalam. Suatu kisah yang dimana ada seorang dari mahasiswa yang hendak meminta izin untuk masuk ke dalam dengan alasan meminta izin untuk ke toilet. Dan akhirnya diberikan izinlah mahasiswa tersebut untuk masuk ke dalam. Ketika sampai di dalam mahasiswa tersebut mengelilingi ruang yang ada di dalam gedung DPRD dan al hasil apa? Mahasiswa tersebut tidak melihat seorang pun di dalam ruang DPRD. Ini menunjukkan bahwa pemerintah yang seharusnya melayani dan mengayomi kebijakan yang diamanahkan sebagai wakil rakyat malah tidak ada. Memang sudah tidak asing lagi jika dalam PEMILU masyarakat acuh tak acuh akan pemimpin di negeri Indonesia ini. Mereka mengingat masyarakat hanya karena dia butuh suara dari masyarakat saja. Visi dan Misi yang tidak jelas, tidak ada perubahan di yang signifikan bagi masyrakatnya. Negeri ini bukan hanya membutuhkan pemimpin yang bijaksana namun juga harus memiliki pemimpin yang memiliki Visi perubahan yang jauh untuk kedepannya kelak. Dari 5 peran mahasiswa yang kita ketahui diantaranya ada; 1. Mahasiswa Sebagai Agen of Change 2. Mahasiswa Sebagai Iron Stock 3. Mahasiswa Sebagai Guardin of Value 4. Mahasiswa Sebagai Moral Force 5. Mahasiswa Sebagai Social Control Diantara peran mahasiswa di atas ingin mengkritisi point yang ke-5 yakni, Mahasiswa Sebagai Social Control. Tidak mudah tentunya menjadi orang yang memegang kontrol sosial di masyrakat. Butuhnya keberanian dan sikap siaga mengambil suatu keputusan. Dalam diri mahasiswa kesadaran sebagai orang yang mempunyai kategori peran Social Control sudah banyak sekali bisa dikatakan hampir dari itu semua. Yang menjadi titik pertanyaan “Apakah Mahasiswa Sadar Untuk Mengambil Alih Kekuasaan?” Mengutip sebuah kata yang datangnya dari Dr Ilmu Politik UI yang menyebutkan: “Politik dalam yang seluas-luasnya seperti panjat pinang. Walaupun lunyu, kata Sunan Kalijaga, tetap “penekno”. Jangan sampai dipanjat oleh para penjahat. Perlu orang yang sedia syahid berkali-kali.” Beliau juga salah seorang pendiri Rumah Perkaderan Monashmuda Institute Semarang. Seorang tahfidz al-Qur’an yang sudah mengkhatamkan kala beliau masih duduk di kelas 2 SMA. Santri yang mondok di Rumah Perkaderan Monashmuda Institute selalu diajarkan agar selalu menjadi santri kritis. Berpikir ideologis, berwawasan politis, bertindak taktis, dan mau melakukan yang teknis-teknis. Pikiran masyarakat yang menganggap politik itu kotor sama sekali merupakan kesalahan terbesar. Politik merupakan jalan atau bisa dikatakan media berjuang yang sesungguhnya, karena jika orang itu membahas agama saja maka orang itu akan merasa tenang-tenang saja. Beda halnya dengan orang yang berani membicarakan politik, perkata saja dia salah maka akan dicabut seakar-akarnya. Terlihat kejam namun bagaiamana lagi. Itulah yang dinamakan perjuangan yang sesungguhnya. Andai Mahasiswa memiliki kesadaran untuk berani mengambil alih kekuasaan dan kekuasaan itu di pegang oleh orang-orang yang bertanggung jawab tentunya. Rakyat kecil yang tidak mengetahui apa-apa menjadi korban sdan eksploitasi habis-habisan bagi para penguasanya. Terlihat seperti permainan bidak catur yang dimainkan demi kepentingan raja.

Postingan populer dari blog ini

Tujuan & Alasan

Titipkan Rin-Du pada Hujan